Cara Berpakaian Orang Tasikmalaya Tempo Doeloe
Gambaran cara orang Tasikmalaya berpakaian pada jaman Sukapura, sebelum dirobah oleh Bupati Sukapura ke-11, Wiraadegdaha (1855-1875), karena dianggap tidak paktis, kurang pantas dan kuno.
Orang Tasikmalaya, pada umumnya senang akan warna cerah, warna-warni dan hiasan. Demikian pula cara berpakaiannya, mulai dari kain kebayanya, kain batiknya, selendang sampai selopnyapun berwarna dan penuh hiasan. Hal ini terlihat pula pada ragam hias kerajinan tangannya, terutama kerajinan tangan payung geulis, kelom geulis, batik dan sulaman.
Bagaimana cara berpakaian orang Tasikmalaya tempo doeloe, ketika Tasikmalaya masih bernama Sukapura (1632 – 1913)? Waktu itu, Pakaian para menak wanitanya berupa baju jubah, semacam kebaya panjang sampai betis, ditambah selendang panjang yang disampirkan di atas pundak, terjurai ke belakang. Wanita yang bukan anggota kabupaten, yang disebut istri-piluaran, kalau menghadap bupati ke atasnya berpakaian seperti penari. Bagian dadanya ditutup lilitan selendang sebagai ”apok”, dengan demikian bagian atasnya terbuka. Kalau prianya, golongan menak dan pertengahan menyelipkan keris di pinggangnya, sedangkan golongan rendahan membawa golok.
Cara berpakaian seperti ini, oleh Bupati Sukapura ke-11, Wiraadegdaha (1855-1875), dianggap tidak praktis, kurang pantas dan kuno. Oleh karena itu oleh Bupati disederhanakan, disesuaikan dengan keadaan jaman. Cara berpakaian orang Tasikmalaya, sebelum diadakan perobahan, digambarkan secara rinci oleh Raden Abdullah Saleh dalam bukunya ”Sadjarah Sukapura” dalam bentuk dangding, yang dikutip Patih Raden Sastranegara dalam ”Pangeling-ngeling 300 Taun Ngadegna Kabupaten Sukapura /Tasikmalaya, 1933 (Hal.31)”.
Foto.2
”............. baheula mah jaman sepuh, para istri menak-menak, baju jubah ninggang bitis, dikekemben ngalempay panjang ka tukang.
Ari istri piluaran, lamun marek ka bupati, makena karembong dua, dipake apok sahiji, nu hiji nyalindang nyampir, dina taktak kagugusur, karembong Darmayu modang, atawa Cinde palangi, teu dibaju awakna tembong ngaliglag”.
Ari mungguh pamegetna, panganggona menak-kuring, sinjang gincu sabuk jamblang, nyoren duhung tebeh gigir, raksukan senting purikil, poleng atawa cit salur, nu pang alusna Madras, sarta tara nganggo lapis, ari lain midang atawa angkat mah.
Udeng wedal Sukapura, batik hideung Sawunggaling, mun soga Gunawijaya, atawa Gambir saketi, Modang beureum ngatumbiri, , dasar koneng hurung ngempur, carecet poleng Banggala, nganggo ambar ting garawing, digamparan lilingga tanduk bubutan.
Mungguhing di cacah-cacah, totopong balangkreng sisi, sabuk saten nyoren gobang, totopong dipasang tegil, baju kamsol make kancing, emas hurung tinggalebur, carecet jimpo kasar, digantelan catut beusi, ali loklak dudukuy beulah kalapa.”
(........ dahulu jaman orang tua kita, istri bangsawan mengenakan baju jubah sampai betis, memakai selendang panjang terjurai ke belakang.
Kalau istri rakyat biasa, bila menghadap bupati, mengenakan dua buah selendang, yang satu dipakai penutup dada, yang satu lagi disampirkan di atas pundak terseret-seret, selendang Darmayu modang atau Cinde palangi, tanpa mengenakan baju, badannya nampak terbuka.
Kalau prianya, golongan bangsawan dan pertengahan, memakai kain merah dengan ikat pinggang ”jamblang”. Keris terselip di pinggang, pakaian ”senting”, motif poleng atau kain salur (belang), yang paling baik kain Madras, tidak memakai lapis kalauu bukan berdandan atau bepergian.
”Udeng” (tutup kepala) keluaran Sukapura, batik hitam Sawunggaling, kalau soga Gunawijaya, atau motif Gambirsaketi, ”modang” merah macam pelangi, dasar kuning menyala, sapu tangan ”poleng” (loreng) Banggala, memakai ”ambar” bergantungan, memakai alas kaki kayu ”gamparan” dengan ”lilingga” (tonjolan yang dijepit ibu jari kaki dan lelunjuk jari kaki), tebuat dari bahan tanduk yang dibubut.
Kalau golongan rendahan, memakai ikat kepala ”balangkreng sisi”. Ikat pinggang kain saten dan menyandang golok. Ikat kepala dipasang model ”tegil”, baju ”kamsol” memakai kancing warna mas menyala gemerlapan. Sapu tangannya ”jimpo” (sapu tangan besar) kasar, digantungi ”catut” besi, cincin ”loklak”, topi seperti kelapa dibelah. (GS))
---------------------------------------------------------
Foto 2. Permainan dakon (Congklak ?) anak Djogdja tempo doeloe. Mengenakan baju tutup dada model apok (?). Sumber: http://www.tembi.org/ (Sartono: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, Nederland.
Catatan:
Masih banyak istilah bahasa Sunda yang tidak dapat penulis terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,seperti ikat pinggang”jamblang”,pakaian ”senting”, ”modang”, ”ambar” dan lain-lain. Berangkali ada di antara pembaca yang dapat menjelaskannya. Terima kasih.
Orang Tasikmalaya, pada umumnya senang akan warna cerah, warna-warni dan hiasan. Demikian pula cara berpakaiannya, mulai dari kain kebayanya, kain batiknya, selendang sampai selopnyapun berwarna dan penuh hiasan. Hal ini terlihat pula pada ragam hias kerajinan tangannya, terutama kerajinan tangan payung geulis, kelom geulis, batik dan sulaman.
Bagaimana cara berpakaian orang Tasikmalaya tempo doeloe, ketika Tasikmalaya masih bernama Sukapura (1632 – 1913)? Waktu itu, Pakaian para menak wanitanya berupa baju jubah, semacam kebaya panjang sampai betis, ditambah selendang panjang yang disampirkan di atas pundak, terjurai ke belakang. Wanita yang bukan anggota kabupaten, yang disebut istri-piluaran, kalau menghadap bupati ke atasnya berpakaian seperti penari. Bagian dadanya ditutup lilitan selendang sebagai ”apok”, dengan demikian bagian atasnya terbuka. Kalau prianya, golongan menak dan pertengahan menyelipkan keris di pinggangnya, sedangkan golongan rendahan membawa golok.
Cara berpakaian seperti ini, oleh Bupati Sukapura ke-11, Wiraadegdaha (1855-1875), dianggap tidak praktis, kurang pantas dan kuno. Oleh karena itu oleh Bupati disederhanakan, disesuaikan dengan keadaan jaman. Cara berpakaian orang Tasikmalaya, sebelum diadakan perobahan, digambarkan secara rinci oleh Raden Abdullah Saleh dalam bukunya ”Sadjarah Sukapura” dalam bentuk dangding, yang dikutip Patih Raden Sastranegara dalam ”Pangeling-ngeling 300 Taun Ngadegna Kabupaten Sukapura /Tasikmalaya, 1933 (Hal.31)”.
Foto.2
”............. baheula mah jaman sepuh, para istri menak-menak, baju jubah ninggang bitis, dikekemben ngalempay panjang ka tukang.
Ari istri piluaran, lamun marek ka bupati, makena karembong dua, dipake apok sahiji, nu hiji nyalindang nyampir, dina taktak kagugusur, karembong Darmayu modang, atawa Cinde palangi, teu dibaju awakna tembong ngaliglag”.
Ari mungguh pamegetna, panganggona menak-kuring, sinjang gincu sabuk jamblang, nyoren duhung tebeh gigir, raksukan senting purikil, poleng atawa cit salur, nu pang alusna Madras, sarta tara nganggo lapis, ari lain midang atawa angkat mah.
Udeng wedal Sukapura, batik hideung Sawunggaling, mun soga Gunawijaya, atawa Gambir saketi, Modang beureum ngatumbiri, , dasar koneng hurung ngempur, carecet poleng Banggala, nganggo ambar ting garawing, digamparan lilingga tanduk bubutan.
Mungguhing di cacah-cacah, totopong balangkreng sisi, sabuk saten nyoren gobang, totopong dipasang tegil, baju kamsol make kancing, emas hurung tinggalebur, carecet jimpo kasar, digantelan catut beusi, ali loklak dudukuy beulah kalapa.”
(........ dahulu jaman orang tua kita, istri bangsawan mengenakan baju jubah sampai betis, memakai selendang panjang terjurai ke belakang.
Kalau istri rakyat biasa, bila menghadap bupati, mengenakan dua buah selendang, yang satu dipakai penutup dada, yang satu lagi disampirkan di atas pundak terseret-seret, selendang Darmayu modang atau Cinde palangi, tanpa mengenakan baju, badannya nampak terbuka.
Kalau prianya, golongan bangsawan dan pertengahan, memakai kain merah dengan ikat pinggang ”jamblang”. Keris terselip di pinggang, pakaian ”senting”, motif poleng atau kain salur (belang), yang paling baik kain Madras, tidak memakai lapis kalauu bukan berdandan atau bepergian.
”Udeng” (tutup kepala) keluaran Sukapura, batik hitam Sawunggaling, kalau soga Gunawijaya, atau motif Gambirsaketi, ”modang” merah macam pelangi, dasar kuning menyala, sapu tangan ”poleng” (loreng) Banggala, memakai ”ambar” bergantungan, memakai alas kaki kayu ”gamparan” dengan ”lilingga” (tonjolan yang dijepit ibu jari kaki dan lelunjuk jari kaki), tebuat dari bahan tanduk yang dibubut.
Kalau golongan rendahan, memakai ikat kepala ”balangkreng sisi”. Ikat pinggang kain saten dan menyandang golok. Ikat kepala dipasang model ”tegil”, baju ”kamsol” memakai kancing warna mas menyala gemerlapan. Sapu tangannya ”jimpo” (sapu tangan besar) kasar, digantungi ”catut” besi, cincin ”loklak”, topi seperti kelapa dibelah. (GS))
---------------------------------------------------------
Foto 2. Permainan dakon (Congklak ?) anak Djogdja tempo doeloe. Mengenakan baju tutup dada model apok (?). Sumber: http://www.tembi.org/ (Sartono: Europese Bibliotheek-Zaltbommel, Nederland.
Catatan:
Masih banyak istilah bahasa Sunda yang tidak dapat penulis terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,seperti ikat pinggang”jamblang”,pakaian ”senting”, ”modang”, ”ambar” dan lain-lain. Berangkali ada di antara pembaca yang dapat menjelaskannya. Terima kasih.
Pelatihan Pembuatan Tahu Bulat Tasikmalaya – Kami mencari orang yang bisa membuat Tahu Bulat Tasikmalaya. Kami bersedia mengikuti pelatihan ditempat anda dan bersedia membayar biaya pelatihan. Silahkan hubungi : imam_punya99@yahoo.co.id atau Telpon ke 0821 1457 9550. Untuk Tambahan Info bahwa saat ini saya berada di jogja, tetapi saya juga bersedia datang ke kota anda untuk melakukan pelatihan. Ditunggu kabar baiknya.
BalasHapushoyong di postkeun sejarah jl. raden ikik wiradikarta, sareng saha sosok raden ikik teh? leres atanapi hente sosok raden ikik teh kapungkur kantos janteun bupati kab tasikmalaya?
BalasHapus